Tersandera PP 103, FIPTI Mengadu Ke DPR
VIVA SUMSEL.COM, Jakarta – Kegalaun para pelaku pengobatan tradisional akibat PP 103 tahun 2014 rupanya telah mencapai puncaknya. Hal ini terbukti dengan menyatunya perkumpulan para pelaku pengobatan alternatif ke dalan satu wadah bernama Forum Induk Pengobat Tradisional Indonesia (FIPTI).
Kamis (10/01) FIPTI mendatangi komplek parlemen di Senayan untuk mengadukan nasibnya yang disandera PP 103 ke DPR. Mereka menilai PP 103 ini sangat membelenggu para pengobat tradisional di Indonesia dalam melakukan prakteknya.
“Mengingat bahwa pengobatan tradisional berakar pada aspek tradisi, turun temurun, aspek sosial budaya, etnik dan agama,” kata Ketua Umum FIPTI B. Mahendra usai bertemu anggota Fraksi PKS Muhammad Nasir Djamil, di komplek parlemen.
Untuk itu, lanjut Mahendra, maka Pengobat Tradisional harus berdiri sendiri berdasarkan keilmuan tradisionalnya dan tanpa harus dibenturkan dan atau harus dicampur adukan dengan keilmuan pengobatan konvensional.
“Karena dasar keilmuan pengobat tradisional adalah bermuara pada nilai nilai empiris yang turun menurun. Perlu diberi kebebasan untuk menentukan jenis pendidikannya sendiri yakni melalui lembaga pendidikan nonformal atau kursus kursus yang disesuaikan dengan program kementrian pendidikan (leveling ) tanpa harus dipaksakan untuk kuliah D3,” katanya.
Sekjen FIPTI Tengku Maulana Sanusi mengatakan, pengobat tradisional diberi ruang untuk memperkenalkan dirinya dan pengobatannya di publik dengan batasan batasan yang wajar.
“Kalau di Aceh, biasanya di pasar ada ahli pengobatan pake mic menawarkan pengobatannya. Tentu dengan PP 103 ahli obat tersebut bisa melanaggar hukum,” katanya.
Untuk itu, Tengku berharap agar FIPTI diizinkan beriklan atau selebaran.
“Tujuannya tentu agar masyarakat mengetahui keahlian anggota FIPTI yang ribuan orang jumlahnya,” katanya.
Dihubungi di tempat terpisah, Jeng Ana yang dikenal sebagai Ratu Herbal Indonesia menyatakan pendapat senada dengan Tengku Maulana Sanusi. Menurutnya, adanya pembatasan iklan sangat merugikan para pengobat Tradisional.
“Menurut hemat kami biarkan masyarakat yang memberikan hukuman, tapi jangan hak kami dibatasi. Nanti masyarakat akan melakukan seleksi sendiri. Yang tidak bermutu pasti akan mati dengan sendirinya,” kata Jeng Ana.
Adanya ketentuan agar pengobat Tradisional mengikuti pendidikan setara D3 juga dinilai sangat membingungkan. Masalahnya, Indonesia belum memiliki lembaga pendidikan kesehatan (pengobatan) tradisional yang memadai.
“Kami menyesalkan belum ada perhatian pemerintah terhadap permasalahan tersebut,” tambah Jeng Ana.
Kewajiban mengikuti pendidikan itu merupakan amanat PP No 103 Tahun 2014 bahwa para pelaku pengobatan tradisional (terapis) empiris harus mendapat pendidikan selama dua tahun dan terapis kesehatan komplementer dan terintegrasi selama tujuh tahun, terhitung sejak PP No 103 disahkan pada 2014. (anz)
There are no comments at the moment, do you want to add one?
Write a comment