Viva Sumsel

 Breaking News

PON Jabar Kacau Akibat Minimnya Jam Terbang

PON Jabar Kacau Akibat Minimnya Jam Terbang
September 23
14:57 2016

Viva Sumsel.com – Jakarta, Banyaknya masalah pada pelaksanaan Pekan Olahraga Nasional (PON) XIX/2016 di Jawa Barat disebabkan kurangnya jam terbang menghajat event olahraga level besar.

Sejumlah kontroversi mewarnai perhelatan PON di pekan pertama. Mulai dari alat pencatat waktu yang rusak di arena menembak dan sepatu roda, keputusan-keputusan wasit yang kontroversial, kericuhan di beberapa pertandingan, sampai ada pula kericuhan yang melibatkan penonton.

Publik yang ikut mengawasi PON bahkan sempat ramai-ramai menyuarakan ketidaksenangannya di media sosial. Kicauan #PonJabarKacau sempat menjadi trending topic di twitter.

Meski demikian, ketua umum PB PON XIX/2016 yang juga gubernur Jawa Barat, Ahmad Heryawan, tetap mengklaim penyelengaraan berlangsung positif. Masalah-masalah di atas disebutnya “hanya riak-riak kecil”.

Kabarnya, Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi pun merasa heran ketika dirinya mengadakan pertemuan evaluasi dengan pihak-pihak terkait, mulai dari panitia, KONI, sampai perwakilan kontingen, di Bandung hari ini. Walaupun sebelumnya tim-tim banyak yang protes, termasuk melalui media massa, namun hal itu tidak terlontarkan pada pertemuan tersebut.

Soal penyelenggaraan PON tahun ini yang banyak masalah, pengamat olahraga Fritz Simanjuntak tidak merasa “heran”. Sebab, selama ini memang belum terbangun sistem dan budaya yang mumpuni dalam event-event besar di bidang olahraga.

“Bukan cuma PON sebenarnya. Tapi terlihat sekali Indonesia sangat kurang dalam menata pertandingan-pertandingan, karena memang tidak terbiasa. Padahal, bisa itu karena terbiasa,” tutur Fritz dalam percakapan dengan detiksport, Jumat (23/9).

“Salah satu penyebab utamanya adalah Indonesia minim pertandingan dan kompetisi, sehingga (masalah-masalah semacam) itu kerap terjadi. Misal, jadwal pertandingan yang tidak ideal, cabang-cabang favorit tuan rumah, dan lain-lain. Faktor kecil mungkin, tapi tetap bisa memunculkan emosi.”

Menurut Fritz, ketidaksiapan dalam mengelola pertandingan (kompetisi/kejuaraan) bukan cuma ada di pihak panitia, tapi juga ada di wasit, bahkan pemain, ofisial, dan penonton.

“Kalau tidak puas, ada mekanisme protes, laporkan setelah pertandingan, dan semacamnya. Di luar negeri, aturan-aturan seperti itu ya jalan. Pemain yang emosi itu, jangan-jangan karena mereka terlalu diiming-imingi bonus besar, sehingga mereka harus menang dan menang saja.”

Secara khusus Fritz yang juga sosiolog ini menyoroti kualitas wasit-wasit olahraga di Indonesia, yang menurutnya tidak punya kemampuan yang mumpuni untuk memimpin pertandingan dan event-event besar.

“Dari awal harusnya dihitung, berapa wasit yang sudah sangat siap. Untuk event seperti PON, wasit terpilih adalah yang sudah sangat terlatih. Tidak bisa seorang wasit ditunjuk dadakan.

“Menurut saya, wasit-wasit kita pun tidak terbiasa memimpin pertandingan-pertandingan penting karena jam terbang mereka kurang. Akibatnya, mereka bisa mudah terpengaruhi faktor-faktor luar, misalnya pressure dari penonton atau pemain.”

Belajar dari banyaknya kejadian tidak mengenakkan dari PON XIX, Fritz mengusulkan supaya jumlah cabor dikendalikan dengan syarat-syarat tertentu. Cabor yang diikutkan di PON haruslah kompetitif, dan syarat menjadi kompetitif adalah sering mengadakan kejuaraan di tingkat nasional.

“KONI ke depan harus mewajibkan cabor-cabor di PON adalah yang sudah memiliki kejuaraan level nasional (kejurnas), setidaknya selama empat tahun. Juga di level daerah (kejurda). Sehingga, cabor-cabor yang ‘tidak penting’, penyelenggaraannya tidak menjadi beban tuan rumah.”

Selain untuk meningkatkan daya saing atlet, frekuensi pertandingan/kompetisi yang tinggi juga akan membangun sebuah komunitas di kalangan para pelaku olahraga.

“Wasit, misalnya. Semakin sering dia bertugas, dia akan lebih terbiasa menghadapi berbagai situasi di lapangan, dan juga mengenal pemain. Sebaliknya, para pemain pun akan lebih mengenal mana wasit yang bagus, mana yang kurang bagus, karena mereka lebih sering bertemu,” papar Fritz.

Indonesia akan menjadi tuan rumah Asian Games 2018, namun hingga kini persiapannya dianggap “pas-pasan”. Minggu depan juga ada TAFISA World Games di Jakarta, 6-12 Oktober, namun gaungnya tidak terdengar. (detiksport.com)

 

About Author

redaksi Viva Sumsel

redaksi Viva Sumsel

Related Articles

0 Comments

No Comments Yet!

There are no comments at the moment, do you want to add one?

Write a comment

Only registered users can comment.

Email Subcribers

Loading

MEDIA PATHNER

BANNER PARTNERSHIP

Kalender

September 2016
S S R K J S M
« Agu   Okt »
 1234
567891011
12131415161718
19202122232425
2627282930  

Banner PARTNERSHIP

Karir Pad Widget