Sumsel Belum Zero Konflik
VIVA SUMSEL.COM, Palembang – LBH Palembang Tamsil menilai pernyataan Gubernur Sumsel Alex Noerdin yang menyatakan Sumsel zero konflik adalah bohong. Pasalnya, sampai saat ini konflik sengketa lahan antara masyarakat Ogan Ilir dengan PTPN VII Cinta Manis serta konflik petani di dusun Cawang Kabupaten Mura dengan Perusahaan MHP masih terus berlanjut.
Hal tersebut diungkapkan Tamsil dalam konfrensi pers dengan media dan temu pemimpin perempuan dalam rangkaian peringatan Hari Bumi di Swarna Dwipa, Sabtu (21/4).
Tamsil menuturkan, konflik antara masyarakat dengan perusahaan ini terjadi di seluruh kabupaten diantaranya Ogan Ilir, Mura, OKU, OKUT, Muba dan daerah lainnya.
“Kami pernah membuat riset. Lahan masyarakat dimasukan dalam lokasi izin untuk perusahaan. Negara harus hadir. Kalau tanah untuk rakyat, masalah itu harusnya diselesaikan. Kelemahan dimanfaatkan oleh perusahan dan negara. Negara tidak mengakui lahan yang ditempati masyarakat. Hak kepemilikan itu harus dibuktikan. Perusahaan sudah siap dan mereka yakin menang,” ucapnya.
Menurutnya, konflik dengan isu SARA dan agama memang tidak terjadi di Sumsel. Namun di Sumsel banyak terjadi konflik aset, dan sengketa lahan antara masyarakat dengan perusahaan baik itu lahan perkebunan sawit, HTI dan lahan pertambangan.
“Sebagai contoh di Desa Cawang, masyarakat disana digusur karena bersengketa dengan PT MHP. Itu termasuk konflik penggusuran. Bohong besar Gubernur kalau Sumsel zero konflik,” tegasnya.
Tamsir menuturkan, LBH Palembng hadir saat ada pengkapan dan ketika ada penembakan yang menimpa masyarakat.
“Ada beberapa konflik yang menempuh jalur hukum,” ucapnya.
Sementara itu, Walhi Sumsel, Tubagus Ahmad menambahkan, ada 2 agenda besar pembaharuan agraria yakni reformasi agraria dan program hutan sosial.
“Di Sumsel ini sudah ada ratusan masalah konflik ketimpangan penguasaan SDA. Betul banyak konflik di Sumsel kebanyakan masyarakat dengan perusahaan,” katanya.
Menurutnya, Sumsel darurat bencana ekologis. Yang disebabkan aktifitas eksploitasi.
“Kelemahan hukum, perusahaan tidak mampu mengelolah lingkungan di Sumsel. Tapi masih diberi kesempatan mengelolah,” bebernya.
Tubagus mengungkapkan, di Sumsel masih ada konflik yakni konflik masyarakat dengan perusahaan. Itu juga konflik, jangan salah memahami konflik yang terjadi. “Upaya yang kita lakukan adalah hampir seluruh cara dilakukan masyarakat Cawang karena mereka tidak punya rumah, dan sakit karena tidak terurus.
“Mereka harus patungan melakukan aksi di LHK. Ada persoalan di daerah dan Dinas Kehutanan lambat merespon. Kita juga menyalurkan aspirasi ke LHK. Pemda Provinsi dan Pusat. Tapi tidak direspon. Jadi kita ragu pemerintah ini serius atau tidak mempercepat penyelesaian konflik,” paparnya.
Oleh sebab itu lanjut Tubagus, pihaknya mendesak pemerintah mengembalikan kedaulatan rakyatvatas tanah mereka terutama perempuan. Karena ditangan par perempuan inilah bumi menjadi lestari.
“Kita mendesak pemerintah mereview kembali perizinan yang sudah ada. Serta mengembalikan kedaulatan dan kesejateraab masyarakat untuk pengelolaan hutan dan lahan yang berkeadilan. Mendesak pemerintah memastikan tidak ada izin baru bagi perusahaan berbasis lahan berskala besar di Sumsel,” paparnya.
Ketua Solidaritas Perempuan Palembang Ida Ruri Sukamwati menuturkan, perempuan penting bersuara di Hari Bumi. Ini dikarenakan persoalan koflik agraria banyak yang tertindas adalah perempuan.
” Ketimpangan lahan masyarakat banyak dikuasai korporasi dan negara. Jadi kami mengambil tema ‘Kembalikan Kedaulatan Atas Pengelolaan Bumi Kepada Rakyat’. Perizinan yang diberikan pemerintah semakin menyingkirkan masyarakat.Mereka menerima dampak, perusahaan yang mengambil lahannya.
“Konflik sengeketa lahan di Sumsel ini ada pembiaran. Padahal banyak terjadi konflik antara lain masyarakat Cinta Manis dengan PTPN VII Cinta Manis. Harusnya negara melindungi masyarakat tapi memusuhi masyarakat,” katanya.
Ida menjelaskan, masyarakat yang berkonflik dengan perusahaan telah mendatangi Pemprov Sumsel dan melakukan dialog dengan DPRD. Selain itu, telah melakukan dialog dengan Komnasham.
“Masyarakat miskin bukan karena tidak mau bekerja. Tapi hilangnya lahan milik mereka karena diserobot perusahaan, itu yang membuat mereka miskin. Tapi negara tidak melindungi rakyat. Mana implementasi Undang Undang Pasal 33,” paparnya.
Salah seorang warga Sribandung, Emilia mengatakan, Desa Sribandung terdiri dari 25 desa. Konflik masyarakat dengan PTPN 7 Cinta Manis telah terjadi lama.
“Perempuan itu dekat dengan alam. Ketika terjadi konflik, mengakibatkan anak dan perempuan yang mengalami trauma mendalam.Tekanan psikis itu sangat dirasakan perempuan. Bicara masalah konflik. Desa sribandung tidak percaya lagi dengan pemerintah.
Kita ditendang bolak balik. Ke bupati, ke Gubernur, Presiden. Presiden bilang itu wewenang Pemda. Tapi Pemda bilang itu kewenangan pusat,” paparnya.
Hal senada diungkapkan warga Dusun Cawang Mura Suharmi. Dia mengatakan, pemerintah seolah menutup mata dengan masalah petani di dusun Cawang Mura yang lebih dari 700 hari mengungsi akibat konflik dengan Perusahaan MHP.
“Kami hidup serba kekurangan. Kami mintak hak kami. Kami petani tidak punya lahan lagi. Kesannya pemerintah menutupi masalah ini ,” pungkasnya. (anz)
There are no comments at the moment, do you want to add one?
Write a comment