Tak Kenal Lelah, FK-PKBP Terus Perjuangkan Tolak Pajak Tambahan 10 Persen
VIVA SUMSEL.COM, Palembang – Terus adakan pertemuan dengan semua anggota Forum Komunikasi Paguyuban Kuliner Bersatu Palembang (FK-PKBP), mendapatkan keadilan dari pemerintah kota Palembang, mengenai persoalan pajak dan pemasang alat e-tax di pelaku usaha menengah kebawah.
Kali ini, Forum Komunikasi Paguyuban Kuliner Bersatu Palembang (FK-PKBP) yang tergabung dalam Persatuan Pengelola Rumah Makan Minang(PPRMM),asosiasi Pengusaha Pempek (ASPPEK), Paguyuban Bakso Solo Berseri(PBSB),dan Asosiasi pecel lele dan Asosiasi sate Madura adakan pertemuan lanjutan di pempek sentosa, jalan Basuki Rahmat, Kamis (8/8).
Pembahasan kali ini tetap dalam forum yang menanyakan pernyataan sikap terhadap Badan Pengelola Pajak Daerah (BPPD) pemerintah kota palembang, atas pajak 10 persen dikenakan kepada konsumen yang sebelumnya tanpa disosialisasikan, dan secara tiba-tiba memasang alat e-tax dengan alat taping box ditempat usaha yang semula secara manual.
Salah satu pelaku usaha rumah makan pindang di jalan Kiyai Aji Bastari, inisial T, menuturkan Omset menurun hingga 30 persen, konsumen juga merasa keberatan walaupun ada juga yang tidak keberatan atas pajak ini seperti. Sedangkan, konsumen yang keberatan pasti tidak ingin datang lagi, dan berpikir lebih baik masak saja dirumah.
“Kejadiannya, juga waktu saya tidak ada ditempat usaha, mereka datang secara tiba-tiba tanpa konfirmasi sedikitpun dan langsung bilang harus pakai alat e-tax dan pemasang banner dengan gambar walikota dan wakil walikota. Yang lebih meresahkan lagi, dibanner tersebut ada beberapa tulisan salah satu tulisannya yakni apabila membayar tidak memberi struk berarti makan gratis, itu gimana coba kalau lampu mati dan kasir kita tidak masuk karena yang bisa menggunakan alat itu tidak semuanya nah gimana rugikan kita,” katanya saat diwawancarai seusai rapat.
Selain itu, Imron, salah satu pedagang pempek di jalan A Yani, dan Agus pedagang bakso di jalan sosial, mengatakan hal yang sama bahwa Omset juga menurun, pegawai yang tidak terlalu mahir teknologi pun pusing untuk mengunakan alat tersebut.
“Jadi kami tidak memasang alat tersebut, karena kami tidak ingin direpotkan dan membuat pegawai kami tidak nyaman saat bekerja,” ujar Imron.
Sedangkan Agus, menjelaskan bahwa Kedatangan para staf tersebut, secara tiba-tiba dan terus memaksa untuk pasang alat itu, dan secara tidak langsung berbicara dengan nada ancaman.
“Ya, mereka bilang kalau tidak pasang alat itu akan ada yang datang entah pol PP dan lainnya. Dan, Saya juga bilang, biar saya yang tanggung pajak 10 persen tersebut, karena kalau pembeli yang menanggung pajak tersebut, maka mereka tidak akan datang lagi ke tempat kami. Inilah yang membuat resah, dan omset kami juga menurun mulai 20persen hingga 30persen,” ungkap Agus.
Ditempat yang sama, Eri, Persatuan Pengelola Rumah Makan Minang (PPRMM), menambahkan kalau untuk pelaku usaha menengah kebawah ini dari 2014 sudah terjadi penurunan omset dan pendapatan, bisa dikatakan turun 30 persen hingga 45 persen tanpa ada e-tax ini sudah turun, apalagi ada alat e-tax ini. PPRM ini bersedia membayar pajak jika seperti tahun sebelumnya.
Disisi lain, Yoga Bima sakti, selaku insiator dan Humas forum komunikasi paguyuban kuliner bersatu palembang sumsel, menjelaskan begitu adanya isu penetapan pajak 10 persen dan alat e-tax, secara tidak langsung mempengaruhi psikologis pedagang dan konsumen.
“Karena, dibeberapa pedagang dari golongan kebawah tidak terlalu mahir mengunakan teknologi, sedangkan alat ini mengunakan touchscreen dan printer, terkadang kasirnya dan pemiliknya rata-rata sudah sepuh atau sudah tua kalau dikasih alat ini, agak kesulitan dan pembeli yang akan membayar menumpuk karena kesulitan penggunaan alat ini,” bebernya
Jelasnya, Secara psikologis konsumen yang melihat adanya alat e-tax dan terkena pajak, mereka akan berpikir untuk tidak makan ditempat tersebut dan memilih tempat makan yang tidak ada alat e-taxnya.
Jadi intinya, lanjut Bima, pengaruh ini sangat berdampak dan dilapangan rill berpengaruh, Bahwa pemasangan ini kurang sosialisasi dari Pemerintah Kota dan Badan Pengelola Pajak Daerah (BPPD).
Sementara itu, H. Idasril Ketua FK-PKBP, menjelaskan Harapannya ke pemerintah kota, yakni adanya penjelasan utuh terhadap alat e-tax ini, logika secara manajemen yang dikenakan ini manajemen belum mapan dan masih tradisional.
“Kini, dibebankan dengan alat yang secanggih, harusnya pemerintah kota harus bijak walaupun ingin menerapkan harus klarifikasi seperti apa, kalau berkaca dengan Perda kan jelas omset yang dikenakan yakni 3 juta perbulan dan aturannya yang mana, apa yang bisa kita pegang, ini yang meresahkan dari pelaku usaha kuliner,” jelasnya.
Untuk itu, lanjutnya, Harus diperjelas, Tidak bisa dengan pernyataan, tetapi dengan aturan yang jelas sehingga tidak berdampak pada pelaku kuliner.
“Kenapa menolak inilah salah satunya, kita ingi peraturan yang jelas. Kita minta walikota untuk tolong respon, ini meresahkan, ini masalah perut, masalah usaha mereka dan masalah kehidupan mereka ini tidak bisa main-main. kalau seperti hotel wajar saja, karena mereka sudah secara manajemen sudah kuat,
Tapi seperti pedagang bakso, rumah makan Padang dijalan-jalan yang pembelinya supir, pengamen, anak yatim tidak mungkin mau ambil pajak itu dzohil namanya,” ungkapnya
Tidak dipungkiri untuk membayar pajak, itu untuk rumah makan Padang yang besar itu, rumah makan Padang yang besar tersebut harus bayar pajak karena manajemen mereka pun kuat.
“Selama ini mereka bayar pajak tapi sesuai dengan sepakat dan dibayar ke bank Sumsel ini kok bocor bearti ada oknum yang membocorkan,” tuturnya
H. Idasril, menambahkan salah satu contoh pelaku usaha kuliner yang tak wajar untuk dikenakan pajak 10 persen, yakni rumah makan Padang serba 10 ribu.
” kalau bicara omset bisa saja besar tapi mereka jual harga minim, jika mereka menaikan harga lagi bearti bukan serba 10 ribu. Nah, ini coba masyarakat coba menilai ini dengan hati, mereka ini lagi berjuang agar pembeli kelas bawah mereka tidak berdampak,” katanya
Sedangkan, untuk pelaku usaha yang ada mall wajar saja untuk dikenahkan pajak, karena pembeli yang datang sudah siap dan sudah tau bahwa setiap makan disana akan kena pajak.
“Tapi sepetri pembeli supir angkot, gojek hingga anak jalan yang bayar harus dikenahkan pajak, saya rasa tidak mungkin. Seharusnya sekarang ini, mereka harus bisa lihat Sekmen pasar jangan asal pukul rata,” tegasnya
“Kita sudah mengadu ke DPRD, Ombusan, hingga ulama. besok kita akan diterima secara langsung oleh para ulama, setelah itu klkita akan audisi dengan walikota. Jika ini masih terbentur, terpaksa para pelaku usaha ini akan menutup usaha mereka sehari atau dua hari dan akan beramai-ramai mendatangi kantor walikota, karena apa dengan kejadian ini mereka bisa dibilang mati perlahan-lahan,” bebernya
Untuk itu, Forum Komunikasi Paguyupan Kuliner Bersatu Palembang (FK-PKBP), meminta aturan yang jelas, walaupun peraturan tersebut di buat Perwali dan surat ederan, harus yang jelas dan lihat siapa yang terkena dampaknya.
“jangan kami diadu antar pedagang,” tutupnya. (DNK)
There are no comments at the moment, do you want to add one?
Write a comment